Kamis, 31 Desember 2015

ayah...

Dinginnya kamar perawatan, suara mesin penghitung detak jantung, selang infus dan kontraksi yang bertubi-tubi tapi tak sampai menambah besarnya jalan lahir..
Di masjid rumah sakit yang tak jauh dari ruang perawatan itu kau terdiam dan terus melangitkan doa-doa panjang..
Jarak itu bukan tak sanggup kutempuh..kaki yang terpaku bukan karena sulitnya jalan yang harus dilalui tapi sekeping hati yang masih mengeluarkan nanah dan darah tak sanggup kubawa berlari merengkuhmu..

Pelan..lelaki yang 3 tahun ini senantiasa punya banyak telinga utk mendengarkanku berkata: kita tak bisa selamanya bicara dalam resah tak selamanya bisa menyeka airmata.. Jika yang kita tuju adalah ampunan serta kasih sayangNya maka makhluk mana yang tak membuat kita tergetar utk sebuah kata maaf?

Diantara langkah kaki dan kontraksi yang terus menerjang berkali-kali airmata kuseka dari pipi.. Bukan kontraksi ini yang membuat airmata terus membanjiri wajahku..

Ayah..
Sungguh aku kecewa harus menyadari kau bersalah dan membuat keadaan terasa berat
Hari-hari yang sulit dan bahkan membuat ku harus menerima sebutan: tulang punggung keluarga!
Membuat orang bicara, bisa saja laki-laki terima dia jadi istri tapi belum tentu keluarga nya..
Ayah..
Kau yang membuat aku harus mengantarkan ibu menemui pengacara dan membuat sebuah surat bernama gugatan..
Perih dan tak ada seorang pun anak yang menghendaki perpisahan kedua orang tua nya seperti ini..


Meski tak ada benda yang menindih..nafas ini masih begitu berat..

Lalu saat kau duduk di hadapan tempat tidur perawatan ini..aku pandangi wajahmu.. Seketika habis kekesalanku..
Kuraih tubuhmu dan hanya berucap maaf sambil memelukmu...

Tak lama cucu pertama yang kau tunggu lahir ke dunia.. Dia menjadi jawaban atas doa seorang anak yang berharap bisa mencintai kembali ayahnya..

Karena dia, kita semua berkumpul bersama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar